http://meshack737.files.wordpress.com/2009/01/king-solomon-baby.jpg

Alkisah, Raja Salomo dihadapkan pada suatu perkara yang rumit. Seorang bayi sedang diperebutkan dua orang ibu. Mereka masing-masing mengaku sebagai ibu kandung bayi tersebut dan oleh karena itu berhak atasnya. Hakim-hakim seluruh negeri sudah angkat tangan dan kehilangan pegangan dalam memberikan keputusan. Maklum saja, saat itu belum ada teknologi uji DNA.

Raja bersungut-sungut, tapi tetap saja ia berpikir. Sejenak kemudian, tiba-tiba raja menghunus pedangnya dan berseru, "Kalau begitu mari kita bikin keputusan yang adil! Aku akan membelah bayi ini menjadi dua bagian yang sama, sehingga kalian masing-masing akan mempunyai separuhnya!"

Ibu gadungan bersorak kegirangan, "Hidup Raja Salomo yang adil!" Sedangkan ibu kandung sang bayi itu memucat wajahnya, lalu buru-buru bersimpuh di kaki Sang Raja dan memohon dengan pilu. "Ampun Tuanku Baginda Raja, hamba ikhlaskan putra hamba diserahkan kepada ibu itu seutuhnya. Janganlah Tuanku memainkan pedang ...."

Raja Salomo terharu, dan tiba-tiba saja tertawa, "Ha ... ha ... ha ..., aku sudah mendapatkan keputusan." Kedua ibu itu terbengong- bengong dan harap-harap cemas. "Aku tetapkan, kaulah wanita mulia, ibu kandung bayi ini!" Raja Salomo menyerahkan sang bayi kepada ibu yang berlutut di hadapannya. Legalah sang ibu kandung itu.

Kisah inilah yang antara lain membuat Raja Salomo disebut sebagai raja yang bijaksana. Dari kisah itu pula kita bisa mengambil hikmah bahasa yang unik: makna kata `adil` sangat berbeda dengan makna kata `bijaksana` (apabila tidak dapat dikatakan bertolak belakang). Kita bisa menguji kedua kata itu dengan contoh kasus lain. Kita memiliki kain selebar 10 m2 dan ingin membaginya menjadi dua bagian. Dikatakan adil jika masing-masing pihak memperoleh kain selebar 5 m2. Hanya saja, jika dua orang itu berbeda fisiknya (katakanlah yang satu gemuk sehingga 5 m2 tadi kurang untuk membuat sebuah baju, sementara yang satunya kurus sehingga kain tadi bersisa percuma) apakah tindakan membagi dua sama besar itu adil?

Jelaslah bahwa keputusan yang adil itu tidaklah selalu bijaksana. Dalam hal pembagian kain di atas, biarlah kita tidak berbuat adil asal bijaksana. Seyogyanya kain tadi dibagi menjadi dua bagian dengan 6 m2 untuk si gemuk dan 4 m2 untuk si kurus. Dengan begitu keduanya bisa memperoleh baju tanpa ada kain yang terbuang percuma. Lucunya, kita sering menggabungkan kata adil dan bijaksana tadi. Padahal sesungguhnya hal itu tidak akurat dan tak serasi. Kalau adil, bilang saja adil, artinya sama rasa sama rata. Soalnya, bijaksana belum tentu adil. Bahkan belakangan ini, apa-apa yang digolongkan bijaksana ternyata lebih sering berpretensi negatif. Tidak percaya? Kalau ada orang yang mendatangi Anda dan berkata, "Minta kebijaksanaan dong Pak/Bu, supaya ada uang kebijaksanaan gitu ...?" Positifkah niatnya?
Bahan dikutip dari sumber:
Judul Majalah : Intisari Edisi April 2004
Judul Artikel : Adil Tidak Selalu Bijaksana
Penulis : Lie Charlie
Halaman : 152 - 153

(pelitaku.sabda)


====================================================================================
Silahkan berkomentar sobat-sobat ku, ^.^
Tapi jangan komentar hal-hal yang tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA ya.., hohoho...
Terima Kasih atas kunjungannya... ^0^!
====================================================================================