NB: cerita bijak yang menyentuh hati.mungkin temen2 pernah baca. bagi yang belum wajib baca hi5x.. Smile


====================================================

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat

terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning,

dan punggung mereka menghadap ke langit.

Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.


Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang

mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya,

Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku.

Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat

adikku dan aku berlutut di depan tembok,

dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.

"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku

terpaku, terlalu takut untuk berbicara.

Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi

Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian

berdua layak dipukul!"

Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.

Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan

berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"


Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku

bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia

terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.

Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu

bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah

sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ...

Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"


Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan

kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata

setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis

meraung-raung.

Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan

berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."


Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki

cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi

insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah

akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku

berusia 8 tahun. Aku berusia 11.


Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia

lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya

diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah

berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi

bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan

hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air

matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"


Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah

dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah

cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul

adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu

v(^_^)V lemahnya?

Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan

saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu

kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam

uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang

membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan

sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang

kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi

meneruskan ke universitas.


Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang,

adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit

kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan

meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas

tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."


Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku,

dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu,

adikku berusia 17 tahun. Aku 20.


Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan

uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di

lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku

masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu

di luar sana!"


Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku

berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor

tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu
tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab,

tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka
pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan
menertawakanmu?"


Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku

menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam

kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah
adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."


Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut

berbentuk kupu-kupu.

Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan,

"Saya melihat semua gadis kota memakainya.

Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."

Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku

menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis.

Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.


Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca

jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana.

Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku.

"Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan

rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang

pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka

pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."


Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat

mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku.

Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya.

"Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.

"Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di

lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap

waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..."

Ditengah kalimat itu ia berhenti.

Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata

mengalir deras turun ke wajahku.

Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.


Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali

suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal

bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau.

Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun,

mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku

tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan

menjaga ibu dan ayah di sini."


Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan

adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen

pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.

Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.


Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk

memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik,

dan masuk rumah sakit. Suamiku dan

aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada

kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer?

Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti

ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak

mau mendengar kami sebelumnya?"


Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela

keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan

saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu,

berita seperti apa yang akan dikirimkan?"


Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar

kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga

karena aku!"


"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam

tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.


Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang

gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara

perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati

dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."


Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah

kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia

berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan

selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah.

Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku.

Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia

hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu.

Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang

begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu,

saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan

baik kepadanya."


Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu

memalingkan perhatiannya kepadaku.


Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku,

"Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan

dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan

perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.


Sumber: Diterjemahkan dari "I cried for my brother six times"




====================================================================================
Silahkan berkomentar sobat-sobat ku, ^.^
Tapi jangan komentar hal-hal yang tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA ya.., hohoho...
Terima Kasih atas kunjungannya... ^0^!
====================================================================================